Minggu, 16 Oktober 2011

pengatur tumbuh tanaman AUKSIN dan SITOKININ

Apakah perbedaan fitohormon dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Fitohormon : senyawa kimia yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri yang dapat mempenyaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.
Zat Pengatur Tumbuh atau ZPT adalah Senyawa org selain nutrien, jika diberikan dalam jumlah sedikit namun Mempengaruhi proses fisiologi pertumbuhan dan perkembangan.

jadi : ZPT merupakan senyawa baik asli maupun buatan, jika diperlakukan langsung ke target akan memperbaiki kualitas, menaikkan hasil atau perbaikan panen.
   Secara garis besar hormon tanaman mempengaruhi proses–proses fisiologi. Proses–proses fisiologis yang dipengaruhi sebagian besar ialah pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan, termasuk pembungaan, perkecambahan, pembiakan, penekanan pertumbuhan, dan lain-lain (Gardner, dkk, 1991). Hormon biasanya aktif dalam konsentrasi yang sangat kecil untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Katuuk, 1989). Pembuatan klon dan kultur jaringan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kehadiran zat pengatur tumbuh (Gardner dkk, 1991).


 










Zat pengatur tumbuh di dalam sel akan berdifusi dari sel satu ke sel yang lain melalui plasmodesmata hingga sampai pada sel tujuan (sel target) untuk menerima respon zat pengatur tumbuh tersebut (Hopkins, 1999). Peristiwa yang diinisiasi oleh hormon secara umum dijelaskan dalam 3 tahap: (1) penangkapan sinyal awal, (2) jalur transduksi dan (3) induksi. Penangkapan sinyal awal melibatkan reaksi hormon dengan penerima (reseptor). Hormon tanaman berdifusi dari sel ke sel atau melalui permukaan apoplas. Sel yang akan merespon hormon, disebut sel target. Sel target harus memiliki kemampuan mendeteksi keberadaan hormon di dalam sel atau di sekeliling sel. Deteksi dilakukan melalui interaksi antara hormon dan reseptor seluler spesifik. Reseptor biasanya berupa glikoprotein yang berikatan dengan hormon. Reseptor memainkan peran penting dalam peristiwa di atas, karena 2 alasan. Pertama, keberadaan reseptor menjelaskan jenis sel yang dapat merespon hormon. Hanya pada sel-sel yang mengandung reseptor khusus, pada saat adanya hormon, akan dapat merespon hormon tersebut. Kedua, tipe sel yang berbeda mungkin memiliki reseptor berbeda dan akan menimbulkan respon berbeda pula terhadap hormon yang sama. Sebagai hasil pengikatan hormon, reseptor menginduksi perubahan konformasi dan penerimaan “sisi aktif”. Formasi kompleks reseptor-hormon yang aktif mengakhiri tahap penerimaan sinyal.
Tahap kedua kerja hormon ialah tahap transduksi dan amplifikasi sinyal. Pada tahap ini, kompleks reseptor-hormon yang telah teraktivasi mengatur pergerakan aliran biokimia yang akhirnya mengarah pada respon akhir. Kompleks hormon-reseptor mengaktivasi protein membran yang disebut “protein G”, yang kemudian berikatan dengan protein membran ketiga – misalnya enzim adenylate cylase yang berlokasi di permukaan membran sitoplasma. Ikatan protein G pada adenylate cylase mengaktifkan enzim, kemudian menstimulasi pembentukan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada sitoplasma. Di lain pihak, kompleks reseptor-hormon dan protein G mungkin berinteraksi dengan ion yang mengontrol aliran kalsium dalam sel. Sekali waktu di dalam sitoplasma, kalsium akan berikatan dengan salah satu kalsium sistolik – pengikat protein, seperti kalmodulin. cAMP atau kompleks Ca2+-kalmodulin dapat mengaktifkan protein kinase yang akan memfosforilasi protein lain dan menyebabkan respon hormon (Hopkins, 1999).
Pengaktifan gen mengandung arti terjadi proses penguatan yang tinggi. Ini karena transkripsi berulang DNA menjadi RNA-kurir (rnRNA), yang diikuti oleh translasi mRNA menjadi enzim yang memiliki aktivitas katalisis yang tinggi pada konsentrasi rendah, dapat menghasilkan banyak salinan produk sel yang penting. lalu, produk ini menentukan jenis organismenya, dan tentu saja wujud penampilannya (fenotipenya). Ada berbagai titik kendali dalam aliran informasi genetik, dari DNA sampai menjadi sebuah produk molekul. Yang terpenting terdapat pada tingkat transkripsi. Titik kendali lainnya, juga terdapatdi inti, mencakup pengolahan mRNA, sebab sebagian besar molekul mRNA terurai dan beberapa bagiannya terangkai kembali sebelum mereka meninggalkan inti. Langkah pengolahan ini dikendalikan oleh enzim yang kerjanya diatur oleh hormon. Selanjutnya, mRNA meninggalkan inti, melalui pori inti. Di sitosol, mRNA dapat ditranslasikan pada ribosom atau dirusak oleh ribonuklease. Jika mRNA ditranslasi menjadi enzim, perubahan pasca translasi enzim tersebut dapat terjadi melalui berbagai proses seperti fosforilasi, metilasi, asetilasi, glikosidasi, dan sebagainya. (Salisbury dan Ross,1995)
1.    Auksin
Auksin adalah salah satu hormon yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu tanaman (Abidin,1989). Menurut Salisbury dan Ross (1995) hormon yang pertama kali ditemukan ialah Auksin. Auksin merupakam istilah umum untuk suatu senyawa yang mampu merangsang perpanjangan sel (Harjadi, 2009). Menurut George dan Sherington (1984) auksin di dalam media berperanan untuk merangsang pertumbuhan kalus, merangsang pembesaran sel serta pertumbuhan akar dan mengatur morfogenesis. Auksin endogen, yaitu Indol Acetic Acid (IAA) ditemukan  pada tahun 1930, bahkan saat itu hormon untuk pertama kali dimurnikan dari air seni. 
IAA disintesis dari triptofan. Ada dua mekanisme sintesis yang dikenal dan keduanya meliputi pelepasan gugus asam amino dan gugus karboksil-akhir dari cincin samping triptofan (Mohr dan Schopfer, 1995). Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah triptofan menjadi IAA terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk, daun dan buah yang sedang tumbuh. Di semua jaringan tersebut, kandungan auksin paling tinggi menunjukkan, bahwa IAA memang disintesis di tempat itu (Salisbury dan Ross, 1995).
Kadar auksin endogen dan aktivitasnya dalam jaringan berhubungan  dengan keseimbangan antara sintesis dengan hilangnya auksin karena traspor dan metabolisme. Auksin diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif (yaitu tunas, daun muda, dan buah). Auksin diedarkan langsung melalui jaringan parenkim, dari satu sel ke sel berikutnya. Auksin berpindah hanya dari ujung tunas ke pangkalnya, bukan dengan arah sebaliknya. Transport auksin searah ini disebut dengan transport polar. Transport polar tidak memiliki kaitan sama sekali dengan gravitasi, karena auksin bergerak ke arah atas,sehingga membutuhkan energi. Auksin berpengaruh hanya pada kisaran konsentrasi tertentu, yaitu sekitar 10-8 sampai 10-3 M (Campbell dkk,2003)
Di samping auksin-auksin alami, terdapat pula auksin-auksin sintetik, antara lain a-nafthalenasetat acid (NAA), 2,4-diklorofenoksiasetat acid (2,4-D), 2-metil-4-klorofenoksiasetat acid (MCPA), 2-nafthalosiasetat acid (NOA), 4-klorofenoksiasetat acid (4-CPA), p-klorofenoksiasetat acid (PCPA), 2,4,5-triklorofenoksiasetat acid (2,4,5-T), 3,6-dikloroanisik acid (dikamba), 4-amino-3,5,6-trikloropikolinik acid (pikloran).













http://www.pesticideinfo.org/ChemGifs/PC35115.gif







Pengasaman dinding ini mengaktifkan enzim-enzim yang memecahkan ikatan silang (ikatan hidrogen) yang terdapat antara mikrofibril-mikrofibrii selulosa, sehingga melonggarkan serat-setat dinding sel. Karena dindingnya sekarang lebih plastis, sel bebas mengambil tambahan air melalui osmosis dan bertambah panjang. Namun agar bisa tumbuh terus setelah perubahan awal ini, sel-sel harus membuat lebih banyak sitoplasma dan bahan dinding sel. Auksin juga merangsang respons pertumbuhan berkelaniutan ini (Campbell dkk,2003)
Penambahan auksin dalam jumlah yang besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, misalnya NAA atau 2,4 D cenderung mengakibatkan tumbuhnya kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman (Wetherell, 1982).    
NAA tidak seperti 2,4-D yang penggunaannya harus dibatasi karena penggunaan 2,4-D secara terus-menerus dapat menginduksi mutasi. Pada waktu yang sama, 2,4-D dapat menghambat fotosintesis (Pierik, 1987). Auksin sintetis, seperti NAA biasanya lebih efektif dibanding IAA, karena NAA tidak dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lain, sehingga bisa bertahan lebih lama (Salisbury dan Ross, 1995).
2.    Sitokinin
Sitokinin merupakan derivat adenin, yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Bersama dengan auksin, sitokinin mendorong pembelahan sel serta menentukan arah terbentuknya diferensiasi sel (Wetherell, 1982). Sitokinin secara umum berpengaruh dalam pertumbuhan pucuk lateral, pembentangan atau senesensi pada daun, mengaktifkan sintesis RNA, merangsang aktivitas protein dan enzim pada beberapa jaringan, membantu membuka dan menutupnya stomata pada beberapa spesies dan memicu perkembangan kloroplas (Gardner dkk, 1991; Rost dkk, 1984; Salisbury dan Ross, 1995). Dalam kultur jaringan sitokinin mempunyai dua peran penting, yaitu merangsang morfogenesis eksplan serta merangsang pembentukan tunas muda (Hopkins, 1999). Interaksi hormom auksin dan sitokinin sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan eksplan. Dengan pemakaian konsentrasi kedua hormon dalam jumlah yang tepat, jaringan eksplan akan tumbuh menjadi kalus (Moore dalam George dan Sherrington, 1984). Sitokinin mendorong pembelahan sel dalam kultur jaringan dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke mitosis, hal tersebut terjadi karena sitokinin meningkatkan laju sistesis protein (berupa protein pembangun atau enzim yang dibutuhkan untuk mitosis). Sintesis protein dapat ditingkatkan dengan cara memacu pembentukan RNA-kurir yang menyandikan protein tersebut (Cambell, 2003)
Zat pengatur tumbuh  murni yang sering digunakan ialah golongan auksin (IAA, NAA, IBA, dan 2,4 D). Dari golongan sitokinin ialah kinetin (Furfuril Aminopurin), Benzyl Adenin (BA), dan Benzylaminopurin (BAP).


 







Hormon ini biasanya digunakan menurut aturan Möhr (dengan perbandingan tertentu hingga merupakan perbandingan optimal). Pemakaian deret Möhr dikarenakan Auksin menghambat pertumbuhan pucuk yang berlawanan dengan hormon sitikinin sehingga diperlukan adanya sitokinin daam jumlah kecil. Pemakaian yang berlebihan justru dapat merugikan. Berkaitan dengan tujuan perdagangan skala besar, pemakaian hormon ini menjadi sangat mahal. Sebagai penggantinya, bisa digunakan hormon alami, misalnya hormon alami golongan sitokinin, yaitu hormon zeatin, yang dapat diperoleh dari jagung. Bahan lain yang dapat digunakan sebagai sumber hormon antara lain : air kelapa, kapri dan tauge, kecambah serealia (padi, jagung, dan sebagainya), kedelai, kacang panjang, atau kecambah jagung dan masih banyak lagi subtansi organik lain yang baik digunakan sebagai hormon alami pada media agar, antara lain kentang, jeruk, tomat, mangga dan sebagainya ( Hendaryono dkk, 2000).
Pada kultur jaringan auksin merangsang tumbuhnya pucuk adventisia yang berasal dari eksplan. Pucuk adventisia akan berproliferasi menjadi kalus (Yeoman, 1986). Tidak hanya itu, auksin dalam kultur jaringan juga berperan dalam merangsang pembesaran sel, inisiasi akar dan bersama dengan sitokinin memicu terjadinya pembelahan sel eksplan (Wetherell, 1976). Sitokinin merupakan turunan adenin, yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Bersama dengan auksin, sitokinin mendorong pembelahan sel serta menentukan arah terbentuknya diferensiasi sel (Wetherell, 1982). Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertambahan ukuran, secara teoritis semua ciri dari pertumbuhan tersebut dapat diukur (Salisbury dan Ross, 1992). Perkembangan didefinisikan sebagai suatu perubahan teratur dan berkembang yang seringkali menuju suatu keadaan yang lebih tinggi, lebih teratur atau lebih kompleks atau dapat dikatakan sebagai suatu seri perubahan pada organisme yang terjadi selama daur hidupnya yang meliputi pertumbuhan dan deferensiasi (Gardner dkk, 1991).
Pustaka
Abidin, Zainal. 1989. Dasar Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa

Campbell, Neil A., Reece, B Jane., Mitchell G. Lawrence. 2003. Biologi Edisi ke Lima Jilid 2. Penerjemah : Wasmen manalu. Jakarta: Erlangga

Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tanaman. Jakarta : Gramedia.

Gardner, P. Franklin,. Pearce, Brent R,. dan Mitchell, L. Roger. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo; pendamping Subiyanto. Jakarta : Universitas Indonesia Press

George, E. F. dan Sherrington P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Inggris: Exegetics Limited.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Yogyakarta: Kanisius.

Hopkins, William G. 1999. Introduction to Plant Physiology 2nd ed. USA: John Willey & Sons, Inc.

Katuuk, Jeannete R. P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Salisbury, F. B dan Ross W. Cleon. 1995. Plant Physiology. California : Wadsworth Publishing Company.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Semarang : IKIP Semarang Press

Yeoman, 1986. Plant Cell Culture Technology. London : Black Well Scientific Publication.


INDUKSI KALUS TANGKAI DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH a-napthaleneacetic acid (NAA) dan 6-benzylaminopurine (BAP) SECARA In-Vitro


INDUKSI  KALUS
 TANGKAI DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum)
DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH
 a-napthaleneacetic acid (NAA) dan 6-benzylaminopurine (BAP)
 SECARA In-Vitro

Nike Oktavia Sri Saputri
053244017

ABSRAK

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) merupakan tanaman yang banyak mempunyai manfaat karena mengandung banyak senyawa kimia yang bermanfaar diantaranya minyak atsiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, pcymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, dan fenil propada. Namun terdapat kendala dalam penanamannya yaitu tidak dapat ditanaman pada pada semua daerah dan memerlukan penanganan yang khusus, sehingga tidak dapat diproduksi secara besar untuk bidang farmasi. Permasalahan tersebut dapat ditasi menggunakan metode kultur jaringan. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penambahan NAA dan BAP dalam berbagai konsentrasi terhadap induksi dan pertumbuhan kalus (lama induksi, massa kalus dan tekstur kalus) eksplan tangkai daun sirih merah secara in vitro.

Induksi dan pertumbuhan kalus dalam penelitian ini menggunakan eksplan yang diinokulasikan pada media MS dengan penambahan NAA dan BAP dalam berbagai kombinasi konsentrasi (10-8 – 10-4 M). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Parameter yang diamati ialah lama induksi kalus, massa kalus dan tekstur kalus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan uji anva satu arah yang dilanjutkan dengan uju duncan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlakuan C yaitu pada konsentrsi NAA dan BAP yang seimbang dapat menghasilkan massa kalus yang terbesar, induksi kalus tercepat dan tekstur yang remah.

Kata kunci : sirih merah (Piper crocatum), NAA, BAP, kalus, kalus remah.