Minggu, 16 Oktober 2011

pengatur tumbuh tanaman AUKSIN dan SITOKININ

Apakah perbedaan fitohormon dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Fitohormon : senyawa kimia yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri yang dapat mempenyaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.
Zat Pengatur Tumbuh atau ZPT adalah Senyawa org selain nutrien, jika diberikan dalam jumlah sedikit namun Mempengaruhi proses fisiologi pertumbuhan dan perkembangan.

jadi : ZPT merupakan senyawa baik asli maupun buatan, jika diperlakukan langsung ke target akan memperbaiki kualitas, menaikkan hasil atau perbaikan panen.
   Secara garis besar hormon tanaman mempengaruhi proses–proses fisiologi. Proses–proses fisiologis yang dipengaruhi sebagian besar ialah pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan, termasuk pembungaan, perkecambahan, pembiakan, penekanan pertumbuhan, dan lain-lain (Gardner, dkk, 1991). Hormon biasanya aktif dalam konsentrasi yang sangat kecil untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Katuuk, 1989). Pembuatan klon dan kultur jaringan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kehadiran zat pengatur tumbuh (Gardner dkk, 1991).


 










Zat pengatur tumbuh di dalam sel akan berdifusi dari sel satu ke sel yang lain melalui plasmodesmata hingga sampai pada sel tujuan (sel target) untuk menerima respon zat pengatur tumbuh tersebut (Hopkins, 1999). Peristiwa yang diinisiasi oleh hormon secara umum dijelaskan dalam 3 tahap: (1) penangkapan sinyal awal, (2) jalur transduksi dan (3) induksi. Penangkapan sinyal awal melibatkan reaksi hormon dengan penerima (reseptor). Hormon tanaman berdifusi dari sel ke sel atau melalui permukaan apoplas. Sel yang akan merespon hormon, disebut sel target. Sel target harus memiliki kemampuan mendeteksi keberadaan hormon di dalam sel atau di sekeliling sel. Deteksi dilakukan melalui interaksi antara hormon dan reseptor seluler spesifik. Reseptor biasanya berupa glikoprotein yang berikatan dengan hormon. Reseptor memainkan peran penting dalam peristiwa di atas, karena 2 alasan. Pertama, keberadaan reseptor menjelaskan jenis sel yang dapat merespon hormon. Hanya pada sel-sel yang mengandung reseptor khusus, pada saat adanya hormon, akan dapat merespon hormon tersebut. Kedua, tipe sel yang berbeda mungkin memiliki reseptor berbeda dan akan menimbulkan respon berbeda pula terhadap hormon yang sama. Sebagai hasil pengikatan hormon, reseptor menginduksi perubahan konformasi dan penerimaan “sisi aktif”. Formasi kompleks reseptor-hormon yang aktif mengakhiri tahap penerimaan sinyal.
Tahap kedua kerja hormon ialah tahap transduksi dan amplifikasi sinyal. Pada tahap ini, kompleks reseptor-hormon yang telah teraktivasi mengatur pergerakan aliran biokimia yang akhirnya mengarah pada respon akhir. Kompleks hormon-reseptor mengaktivasi protein membran yang disebut “protein G”, yang kemudian berikatan dengan protein membran ketiga – misalnya enzim adenylate cylase yang berlokasi di permukaan membran sitoplasma. Ikatan protein G pada adenylate cylase mengaktifkan enzim, kemudian menstimulasi pembentukan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada sitoplasma. Di lain pihak, kompleks reseptor-hormon dan protein G mungkin berinteraksi dengan ion yang mengontrol aliran kalsium dalam sel. Sekali waktu di dalam sitoplasma, kalsium akan berikatan dengan salah satu kalsium sistolik – pengikat protein, seperti kalmodulin. cAMP atau kompleks Ca2+-kalmodulin dapat mengaktifkan protein kinase yang akan memfosforilasi protein lain dan menyebabkan respon hormon (Hopkins, 1999).
Pengaktifan gen mengandung arti terjadi proses penguatan yang tinggi. Ini karena transkripsi berulang DNA menjadi RNA-kurir (rnRNA), yang diikuti oleh translasi mRNA menjadi enzim yang memiliki aktivitas katalisis yang tinggi pada konsentrasi rendah, dapat menghasilkan banyak salinan produk sel yang penting. lalu, produk ini menentukan jenis organismenya, dan tentu saja wujud penampilannya (fenotipenya). Ada berbagai titik kendali dalam aliran informasi genetik, dari DNA sampai menjadi sebuah produk molekul. Yang terpenting terdapat pada tingkat transkripsi. Titik kendali lainnya, juga terdapatdi inti, mencakup pengolahan mRNA, sebab sebagian besar molekul mRNA terurai dan beberapa bagiannya terangkai kembali sebelum mereka meninggalkan inti. Langkah pengolahan ini dikendalikan oleh enzim yang kerjanya diatur oleh hormon. Selanjutnya, mRNA meninggalkan inti, melalui pori inti. Di sitosol, mRNA dapat ditranslasikan pada ribosom atau dirusak oleh ribonuklease. Jika mRNA ditranslasi menjadi enzim, perubahan pasca translasi enzim tersebut dapat terjadi melalui berbagai proses seperti fosforilasi, metilasi, asetilasi, glikosidasi, dan sebagainya. (Salisbury dan Ross,1995)
1.    Auksin
Auksin adalah salah satu hormon yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu tanaman (Abidin,1989). Menurut Salisbury dan Ross (1995) hormon yang pertama kali ditemukan ialah Auksin. Auksin merupakam istilah umum untuk suatu senyawa yang mampu merangsang perpanjangan sel (Harjadi, 2009). Menurut George dan Sherington (1984) auksin di dalam media berperanan untuk merangsang pertumbuhan kalus, merangsang pembesaran sel serta pertumbuhan akar dan mengatur morfogenesis. Auksin endogen, yaitu Indol Acetic Acid (IAA) ditemukan  pada tahun 1930, bahkan saat itu hormon untuk pertama kali dimurnikan dari air seni. 
IAA disintesis dari triptofan. Ada dua mekanisme sintesis yang dikenal dan keduanya meliputi pelepasan gugus asam amino dan gugus karboksil-akhir dari cincin samping triptofan (Mohr dan Schopfer, 1995). Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah triptofan menjadi IAA terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk, daun dan buah yang sedang tumbuh. Di semua jaringan tersebut, kandungan auksin paling tinggi menunjukkan, bahwa IAA memang disintesis di tempat itu (Salisbury dan Ross, 1995).
Kadar auksin endogen dan aktivitasnya dalam jaringan berhubungan  dengan keseimbangan antara sintesis dengan hilangnya auksin karena traspor dan metabolisme. Auksin diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif (yaitu tunas, daun muda, dan buah). Auksin diedarkan langsung melalui jaringan parenkim, dari satu sel ke sel berikutnya. Auksin berpindah hanya dari ujung tunas ke pangkalnya, bukan dengan arah sebaliknya. Transport auksin searah ini disebut dengan transport polar. Transport polar tidak memiliki kaitan sama sekali dengan gravitasi, karena auksin bergerak ke arah atas,sehingga membutuhkan energi. Auksin berpengaruh hanya pada kisaran konsentrasi tertentu, yaitu sekitar 10-8 sampai 10-3 M (Campbell dkk,2003)
Di samping auksin-auksin alami, terdapat pula auksin-auksin sintetik, antara lain a-nafthalenasetat acid (NAA), 2,4-diklorofenoksiasetat acid (2,4-D), 2-metil-4-klorofenoksiasetat acid (MCPA), 2-nafthalosiasetat acid (NOA), 4-klorofenoksiasetat acid (4-CPA), p-klorofenoksiasetat acid (PCPA), 2,4,5-triklorofenoksiasetat acid (2,4,5-T), 3,6-dikloroanisik acid (dikamba), 4-amino-3,5,6-trikloropikolinik acid (pikloran).













http://www.pesticideinfo.org/ChemGifs/PC35115.gif







Pengasaman dinding ini mengaktifkan enzim-enzim yang memecahkan ikatan silang (ikatan hidrogen) yang terdapat antara mikrofibril-mikrofibrii selulosa, sehingga melonggarkan serat-setat dinding sel. Karena dindingnya sekarang lebih plastis, sel bebas mengambil tambahan air melalui osmosis dan bertambah panjang. Namun agar bisa tumbuh terus setelah perubahan awal ini, sel-sel harus membuat lebih banyak sitoplasma dan bahan dinding sel. Auksin juga merangsang respons pertumbuhan berkelaniutan ini (Campbell dkk,2003)
Penambahan auksin dalam jumlah yang besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, misalnya NAA atau 2,4 D cenderung mengakibatkan tumbuhnya kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman (Wetherell, 1982).    
NAA tidak seperti 2,4-D yang penggunaannya harus dibatasi karena penggunaan 2,4-D secara terus-menerus dapat menginduksi mutasi. Pada waktu yang sama, 2,4-D dapat menghambat fotosintesis (Pierik, 1987). Auksin sintetis, seperti NAA biasanya lebih efektif dibanding IAA, karena NAA tidak dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lain, sehingga bisa bertahan lebih lama (Salisbury dan Ross, 1995).
2.    Sitokinin
Sitokinin merupakan derivat adenin, yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Bersama dengan auksin, sitokinin mendorong pembelahan sel serta menentukan arah terbentuknya diferensiasi sel (Wetherell, 1982). Sitokinin secara umum berpengaruh dalam pertumbuhan pucuk lateral, pembentangan atau senesensi pada daun, mengaktifkan sintesis RNA, merangsang aktivitas protein dan enzim pada beberapa jaringan, membantu membuka dan menutupnya stomata pada beberapa spesies dan memicu perkembangan kloroplas (Gardner dkk, 1991; Rost dkk, 1984; Salisbury dan Ross, 1995). Dalam kultur jaringan sitokinin mempunyai dua peran penting, yaitu merangsang morfogenesis eksplan serta merangsang pembentukan tunas muda (Hopkins, 1999). Interaksi hormom auksin dan sitokinin sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan eksplan. Dengan pemakaian konsentrasi kedua hormon dalam jumlah yang tepat, jaringan eksplan akan tumbuh menjadi kalus (Moore dalam George dan Sherrington, 1984). Sitokinin mendorong pembelahan sel dalam kultur jaringan dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke mitosis, hal tersebut terjadi karena sitokinin meningkatkan laju sistesis protein (berupa protein pembangun atau enzim yang dibutuhkan untuk mitosis). Sintesis protein dapat ditingkatkan dengan cara memacu pembentukan RNA-kurir yang menyandikan protein tersebut (Cambell, 2003)
Zat pengatur tumbuh  murni yang sering digunakan ialah golongan auksin (IAA, NAA, IBA, dan 2,4 D). Dari golongan sitokinin ialah kinetin (Furfuril Aminopurin), Benzyl Adenin (BA), dan Benzylaminopurin (BAP).


 







Hormon ini biasanya digunakan menurut aturan Möhr (dengan perbandingan tertentu hingga merupakan perbandingan optimal). Pemakaian deret Möhr dikarenakan Auksin menghambat pertumbuhan pucuk yang berlawanan dengan hormon sitikinin sehingga diperlukan adanya sitokinin daam jumlah kecil. Pemakaian yang berlebihan justru dapat merugikan. Berkaitan dengan tujuan perdagangan skala besar, pemakaian hormon ini menjadi sangat mahal. Sebagai penggantinya, bisa digunakan hormon alami, misalnya hormon alami golongan sitokinin, yaitu hormon zeatin, yang dapat diperoleh dari jagung. Bahan lain yang dapat digunakan sebagai sumber hormon antara lain : air kelapa, kapri dan tauge, kecambah serealia (padi, jagung, dan sebagainya), kedelai, kacang panjang, atau kecambah jagung dan masih banyak lagi subtansi organik lain yang baik digunakan sebagai hormon alami pada media agar, antara lain kentang, jeruk, tomat, mangga dan sebagainya ( Hendaryono dkk, 2000).
Pada kultur jaringan auksin merangsang tumbuhnya pucuk adventisia yang berasal dari eksplan. Pucuk adventisia akan berproliferasi menjadi kalus (Yeoman, 1986). Tidak hanya itu, auksin dalam kultur jaringan juga berperan dalam merangsang pembesaran sel, inisiasi akar dan bersama dengan sitokinin memicu terjadinya pembelahan sel eksplan (Wetherell, 1976). Sitokinin merupakan turunan adenin, yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Bersama dengan auksin, sitokinin mendorong pembelahan sel serta menentukan arah terbentuknya diferensiasi sel (Wetherell, 1982). Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertambahan ukuran, secara teoritis semua ciri dari pertumbuhan tersebut dapat diukur (Salisbury dan Ross, 1992). Perkembangan didefinisikan sebagai suatu perubahan teratur dan berkembang yang seringkali menuju suatu keadaan yang lebih tinggi, lebih teratur atau lebih kompleks atau dapat dikatakan sebagai suatu seri perubahan pada organisme yang terjadi selama daur hidupnya yang meliputi pertumbuhan dan deferensiasi (Gardner dkk, 1991).
Pustaka
Abidin, Zainal. 1989. Dasar Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa

Campbell, Neil A., Reece, B Jane., Mitchell G. Lawrence. 2003. Biologi Edisi ke Lima Jilid 2. Penerjemah : Wasmen manalu. Jakarta: Erlangga

Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tanaman. Jakarta : Gramedia.

Gardner, P. Franklin,. Pearce, Brent R,. dan Mitchell, L. Roger. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo; pendamping Subiyanto. Jakarta : Universitas Indonesia Press

George, E. F. dan Sherrington P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Inggris: Exegetics Limited.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Yogyakarta: Kanisius.

Hopkins, William G. 1999. Introduction to Plant Physiology 2nd ed. USA: John Willey & Sons, Inc.

Katuuk, Jeannete R. P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Salisbury, F. B dan Ross W. Cleon. 1995. Plant Physiology. California : Wadsworth Publishing Company.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Semarang : IKIP Semarang Press

Yeoman, 1986. Plant Cell Culture Technology. London : Black Well Scientific Publication.


INDUKSI KALUS TANGKAI DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH a-napthaleneacetic acid (NAA) dan 6-benzylaminopurine (BAP) SECARA In-Vitro


INDUKSI  KALUS
 TANGKAI DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum)
DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH
 a-napthaleneacetic acid (NAA) dan 6-benzylaminopurine (BAP)
 SECARA In-Vitro

Nike Oktavia Sri Saputri
053244017

ABSRAK

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) merupakan tanaman yang banyak mempunyai manfaat karena mengandung banyak senyawa kimia yang bermanfaar diantaranya minyak atsiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, pcymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, dan fenil propada. Namun terdapat kendala dalam penanamannya yaitu tidak dapat ditanaman pada pada semua daerah dan memerlukan penanganan yang khusus, sehingga tidak dapat diproduksi secara besar untuk bidang farmasi. Permasalahan tersebut dapat ditasi menggunakan metode kultur jaringan. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penambahan NAA dan BAP dalam berbagai konsentrasi terhadap induksi dan pertumbuhan kalus (lama induksi, massa kalus dan tekstur kalus) eksplan tangkai daun sirih merah secara in vitro.

Induksi dan pertumbuhan kalus dalam penelitian ini menggunakan eksplan yang diinokulasikan pada media MS dengan penambahan NAA dan BAP dalam berbagai kombinasi konsentrasi (10-8 – 10-4 M). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Parameter yang diamati ialah lama induksi kalus, massa kalus dan tekstur kalus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan uji anva satu arah yang dilanjutkan dengan uju duncan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlakuan C yaitu pada konsentrsi NAA dan BAP yang seimbang dapat menghasilkan massa kalus yang terbesar, induksi kalus tercepat dan tekstur yang remah.

Kata kunci : sirih merah (Piper crocatum), NAA, BAP, kalus, kalus remah.

Jumat, 23 September 2011

Kultur Jaringan Tumbuhan


Kultur jaringan tanaman ialah suatu upaya mengisolasi bagian bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, dan organ), kemudian mengkulturnya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan terkendali sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat menjadi tanaman lengkap kembali (Zulkarnain, 2009). Lima tipe dasar dari mikropropagasi, yaitu kultur meristem, proliferasi tunas aksiler, induksi pucuk adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik (Hartmann, 2002).
Teknik kultur jaringan pada dasarnya dilakukan berdasarkan prinsip teori sel yang dikemukakan oleh Sheiden dan Schwann, yaitu sel mempunyai kemampuan autonom (mampu tumbuh mandiri) dan juga kemampuan totipotensi (Nugroho dan Sugito, 2005). Totipotensi ialah kemampuan dari sel hidup yang berasal dari bagian manapun dari tumbuhan, apabila diletakkan pada kondisi lingkungan yang sesuai akan dapat hidup dan berkembang menjadi tanaman baru yang sama dengan asalnya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Hal tersebut dapat diartikan, bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila di tempatkan pada lingkungan yang sesuai (Wetherell, 1982).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan ialah pemberian zat hara yang tepat ke dalam media selain hal tersebut juga diperlukan adanya vitamin dan asam amino. Asam amino ditambahkan sebagai sumber nitrogen organik bagi tanaman karena berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus (George dan Sherrington, 1984). Asam amino dan vitamin yang biasa digunakan dalam media kultur jaringan, yaitu glisin, mioinositol, asam nikotinat, tiamin HCl (vitamin B1), piridoksin HCl (vitamin B) dan niasin. Pada media kultur jaringan diperlukan bahan pemadat sebagai tempat perkembangan eksplan, yang perkembangan eksplan tersebut hanya tergantung pada susunan zat makanan yang terlarut dalam media (Katuuk, 1989). Media kultur jaringan terdiri atas berbagai komponen, antara lain makronutrien, mikronutrien, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan-bahan organik, agar-agar dan zat pengatur tumbuh (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Unsur hara makro karbon, hidrogen dan oksigen tersedia bagi tanaman melalui air dan udara. Sementara itu kebutuhan akan unsur lain seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang dipenuhi melalui media tumbuh. Pada kultur in-vitro, nitrogen diberikan dalam jumlah terbesar dalam bentuk KNO3 atau NH4NO3. Kebutuhan magnesium dan belerang dapat dipenuhi melalui pemberian MgSO4.7H2O. Sementara itu, fosfor dapat diberikan dalam bentuk NaH2PO4.H2O atau KH2PO4. Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KCl, KNO3 atau KH2PO4. CaCl2.2H2O, Ca(NO3)2.4H2O, atau bentuk anhidrat kedua garam tersebut dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalsium (Dodds dan Roberts dalam Zulkarnain, 2009).
Sel tanaman juga membutuhkan unsur-unsur mikro tertentu. Unsur unsur mikro yang dibutuhkan semua tanaman tingkat tinggi meliputi besi, mangan, seng, boron, tembaga, molibenum, dan klor. Walaupu natrium tidak diperlukan oleh tanaman tingkat tinggi, tetapi diperlukan oleh jaringan yang mengandung klorofil. Stok besi dipersiapkan secara terpisah karena ada masalah dalam sistem kelarutannya. Biasanya, larutan besi disiapkan dalam bentuk kelat sebagai garam natrium ferric ethylenediamine (NaFeEDTA) dan FeSO4.7H2O. Mangan diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O. Seng diberikan dalam media berupa ZnSO4.7H2O, boron diberikan dalam bentuk H3BO3, tembaga diberikan dalam bentuk CuSO4.5H2O, molibenum diberikan dalam bentuk Na2MoO4.2H2O, dan klor diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O dan CoC12.6H2O. Di samping unsur mikro tersebut, ada unsur-unsur tertentu yang diberikan dengan tujuan tertentu, apabila tidak mendapatkan unsur-unsur tersebut tanaman tidak akan dapat menyelesaikan siklus hidupnya (Zulkarnain, 2009).
Unsur hara akan diserap secara difusi jika konsentrasi diluar sitosol (pada lingkungan) lebih tinggi dari pada konsentrasi di dalam sitosol. Proses difusi ini dapat berlangsung karena konsentrasi beberapa ion di dalam sitosol didalam sitosol dipertahankan untuk tetap rendah, karena begitu ion-ion tersebut masuk ke dalam sitosol akan segera dikonfersi ke dalam bentuk lain, misalnya NO3- segera direduksi menjadi NH4+ yang selanjutnya digunakan dalam sintesis asam amino dan selanjutnya protein. Ion SO42- juga segera digunakan dalam sintesis protein. Sedangkan H2PO4- dikonfersikan menjadi gula fosfat, nukleotida, RNA, atau DNA (Lakitan, 2004).
Selain unsur hara makro dan mikro, dalam media kultur harus memiliki bahan-bahan lain yang berguna untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan sel jaringan yang dikulturkan, antara lain sumber energi atau senyawa-senyawa yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis (Pierik, 1987). Karbohidrat, sukrosa atau komponen-komponen yang meliputi monosakarida, glukosa atau fruktosa ialah sumber karbon yang paling baik untuk pertumbuhan sel dan perkembangan kalus (Katuuk, 1989). Bahan-bahan yang digunakan dalam media Murashige and Skoog (MS) selain unsur hara, ditambahkan Active Charcoal (arang aktif). Arang aktif dapat menyerap senyawa aromatik karena mempunyai sifat reduktan mencegah oksidari dari senyawa fenolik yang muncul selama pertumbuhan kalus (George dan Sherrington, 1984).
Agar ialah polisakarida yang berfungsi sebagai agen gel untuk membuat keadaan media kultur bersifat semi padat atau padat. Gel agar mempunyai kestabilan pada semua temperatur inkubasi dan juga tidak bereaksi dengan komponen media kultur serta tidak dapat dicerna oleh enzim tanaman (George dan Sherrington, 1984). Air merupakan media tempat berlangsungnya traspor nutrien, reaksi-reaksi enzimatis, metabolisme sel dan traspor energi kimia (Lehninger, 1995). Pencahayaan dibutuhkan tanaman sebagai syarat pokok dalam proses pembentukan cadangan makanan yang disebut proses fotosintesis. Intensitas yang dibutuhkan antara 400 - 3000 lux. Cahaya yang digunakan dapat cahaya matahari difus, lampu neon dan lampu Cool White. Ukuran umum yang sering digunakan ialah lampu neon putih 40 watt diletakkan 1,5 hingga 2 meter dari rak tempat botol kultur. Makin kecil daya lampu yang digunakan, makin dekat jarak lampu ke tanaman. Peranan cahaya terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh intensitas dan kualitas cahaya serta lamanya penyinaran.
Suhu diperlukan untuk pertumbuhan jaringan berkisar antara 20°- 25°C. Penggunaan suhu yang rendah dapat mengurangi aktivitas enzim peroksidase dan oksidase yang bertindak sebagai katalisator dalam proses oksidasi senyawa fenol. Akibatnya, keracunan oleh eksudat toksik ini dapat ditekan. Namun bila luka jaringan telah sembuh, maka pemakaian suhu tinggi akan lebih menguntungkan karena pada suhu tersebut aktivitas metabolisme sel lebih tinggi. Keasaman (pH) media berpengaruh terhadap pertumbuhan in-vitro belum banyak diketahui. Diduga, bahwa pH dalam rentangan, antara 5,0 – 6,5 cocok untuk pertumbuhan eksplan dengan pH maksimum kira – kira 6,0. Berhubung pH rendah (lebih rendah dari 4,5) dan pH tinggi (lebih tinggi dari pada 7,0) pada umumnya menghentikan pertumbuhan dan perkembangan secara in-vitro (George dan Sherrington, 1984).
Menurut George dan Sherrington (1984), jika pH amat rendah dapat menimbulkan kesulitan seperti berikut :
1.    Agar menjadi lebih encer
2.    Auksin dan Giberelat menjadi kurang stabil
3.    Garam utama (fosfat, besi) dapat mengendap
4.    Vitamin B1 dan asam pantothenat menjadi kurang stabil
5.    Penyerapan ion amonium (NH4+) menjadi lambat
Derajat keasaman (pH) pada saat sebelum dan sesudah sterilisasi (dengan autoklaf) berbeda. Jika pH awal berkisar antara 5,0 – 7,0 ini secara umum akan turun (lebih rendah) sebesar 0,3 – 0,5 unit. Dalam literatur kultur jaringan tumbuhan baru diketahui sedikit tentang penggunaan larutan penyangga untuk mengontrol pH. Seringkali penyangga fosfat sorenson (Na2HPO4 + KH2PO4 ) digunakan dan berhasil. Bagaimanapun pengunaan fosfat pada suatu medium dapat dimodifikasi, untuk pertumbuhan suatu kultur. Dilaporkan, bahwa glukosa dalam medium sebagian menjadi fruktosa sebagai hasil dari sterilisasi dengan autoklaf, dan timbulnya hal ini sangat tergantung pada pH (George dan Sherrington, 1984). Vitamin dan Hormon digunakan untuk memacu pertumbuhan tunas. Selain digunakan dalam bentuk senyawa murni, vitamin dan hormon didapatkan dari penggunaan zat aditif dalam media misalnya buah, sayur (kentang, tauge, kacang-kacangan) atau lainnya (Hendaryono, 2000).


Pustaka
George, E. F. dan Sherrington P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Inggris: Exegetics Limited.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisus.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Yogyakarta: Kanisius.
Katuuk, Jeannete R. P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Lakitan, Benyamin. 2004. Dasar Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta; PT RayaGrafindo Persada.
Lehninger. 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Bandung : Erlangga.
Nugroho, Ariyanto dan Sugito, Heru. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kiltur Jaringan. Jakarta : Penebar swadaya
Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Semarang : IKIP Semarang Press.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.