Jumat, 23 September 2011

Kultur Jaringan Tumbuhan


Kultur jaringan tanaman ialah suatu upaya mengisolasi bagian bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, dan organ), kemudian mengkulturnya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan terkendali sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat menjadi tanaman lengkap kembali (Zulkarnain, 2009). Lima tipe dasar dari mikropropagasi, yaitu kultur meristem, proliferasi tunas aksiler, induksi pucuk adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik (Hartmann, 2002).
Teknik kultur jaringan pada dasarnya dilakukan berdasarkan prinsip teori sel yang dikemukakan oleh Sheiden dan Schwann, yaitu sel mempunyai kemampuan autonom (mampu tumbuh mandiri) dan juga kemampuan totipotensi (Nugroho dan Sugito, 2005). Totipotensi ialah kemampuan dari sel hidup yang berasal dari bagian manapun dari tumbuhan, apabila diletakkan pada kondisi lingkungan yang sesuai akan dapat hidup dan berkembang menjadi tanaman baru yang sama dengan asalnya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Hal tersebut dapat diartikan, bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila di tempatkan pada lingkungan yang sesuai (Wetherell, 1982).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan ialah pemberian zat hara yang tepat ke dalam media selain hal tersebut juga diperlukan adanya vitamin dan asam amino. Asam amino ditambahkan sebagai sumber nitrogen organik bagi tanaman karena berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus (George dan Sherrington, 1984). Asam amino dan vitamin yang biasa digunakan dalam media kultur jaringan, yaitu glisin, mioinositol, asam nikotinat, tiamin HCl (vitamin B1), piridoksin HCl (vitamin B) dan niasin. Pada media kultur jaringan diperlukan bahan pemadat sebagai tempat perkembangan eksplan, yang perkembangan eksplan tersebut hanya tergantung pada susunan zat makanan yang terlarut dalam media (Katuuk, 1989). Media kultur jaringan terdiri atas berbagai komponen, antara lain makronutrien, mikronutrien, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan-bahan organik, agar-agar dan zat pengatur tumbuh (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Unsur hara makro karbon, hidrogen dan oksigen tersedia bagi tanaman melalui air dan udara. Sementara itu kebutuhan akan unsur lain seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang dipenuhi melalui media tumbuh. Pada kultur in-vitro, nitrogen diberikan dalam jumlah terbesar dalam bentuk KNO3 atau NH4NO3. Kebutuhan magnesium dan belerang dapat dipenuhi melalui pemberian MgSO4.7H2O. Sementara itu, fosfor dapat diberikan dalam bentuk NaH2PO4.H2O atau KH2PO4. Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KCl, KNO3 atau KH2PO4. CaCl2.2H2O, Ca(NO3)2.4H2O, atau bentuk anhidrat kedua garam tersebut dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalsium (Dodds dan Roberts dalam Zulkarnain, 2009).
Sel tanaman juga membutuhkan unsur-unsur mikro tertentu. Unsur unsur mikro yang dibutuhkan semua tanaman tingkat tinggi meliputi besi, mangan, seng, boron, tembaga, molibenum, dan klor. Walaupu natrium tidak diperlukan oleh tanaman tingkat tinggi, tetapi diperlukan oleh jaringan yang mengandung klorofil. Stok besi dipersiapkan secara terpisah karena ada masalah dalam sistem kelarutannya. Biasanya, larutan besi disiapkan dalam bentuk kelat sebagai garam natrium ferric ethylenediamine (NaFeEDTA) dan FeSO4.7H2O. Mangan diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O. Seng diberikan dalam media berupa ZnSO4.7H2O, boron diberikan dalam bentuk H3BO3, tembaga diberikan dalam bentuk CuSO4.5H2O, molibenum diberikan dalam bentuk Na2MoO4.2H2O, dan klor diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O dan CoC12.6H2O. Di samping unsur mikro tersebut, ada unsur-unsur tertentu yang diberikan dengan tujuan tertentu, apabila tidak mendapatkan unsur-unsur tersebut tanaman tidak akan dapat menyelesaikan siklus hidupnya (Zulkarnain, 2009).
Unsur hara akan diserap secara difusi jika konsentrasi diluar sitosol (pada lingkungan) lebih tinggi dari pada konsentrasi di dalam sitosol. Proses difusi ini dapat berlangsung karena konsentrasi beberapa ion di dalam sitosol didalam sitosol dipertahankan untuk tetap rendah, karena begitu ion-ion tersebut masuk ke dalam sitosol akan segera dikonfersi ke dalam bentuk lain, misalnya NO3- segera direduksi menjadi NH4+ yang selanjutnya digunakan dalam sintesis asam amino dan selanjutnya protein. Ion SO42- juga segera digunakan dalam sintesis protein. Sedangkan H2PO4- dikonfersikan menjadi gula fosfat, nukleotida, RNA, atau DNA (Lakitan, 2004).
Selain unsur hara makro dan mikro, dalam media kultur harus memiliki bahan-bahan lain yang berguna untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan sel jaringan yang dikulturkan, antara lain sumber energi atau senyawa-senyawa yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis (Pierik, 1987). Karbohidrat, sukrosa atau komponen-komponen yang meliputi monosakarida, glukosa atau fruktosa ialah sumber karbon yang paling baik untuk pertumbuhan sel dan perkembangan kalus (Katuuk, 1989). Bahan-bahan yang digunakan dalam media Murashige and Skoog (MS) selain unsur hara, ditambahkan Active Charcoal (arang aktif). Arang aktif dapat menyerap senyawa aromatik karena mempunyai sifat reduktan mencegah oksidari dari senyawa fenolik yang muncul selama pertumbuhan kalus (George dan Sherrington, 1984).
Agar ialah polisakarida yang berfungsi sebagai agen gel untuk membuat keadaan media kultur bersifat semi padat atau padat. Gel agar mempunyai kestabilan pada semua temperatur inkubasi dan juga tidak bereaksi dengan komponen media kultur serta tidak dapat dicerna oleh enzim tanaman (George dan Sherrington, 1984). Air merupakan media tempat berlangsungnya traspor nutrien, reaksi-reaksi enzimatis, metabolisme sel dan traspor energi kimia (Lehninger, 1995). Pencahayaan dibutuhkan tanaman sebagai syarat pokok dalam proses pembentukan cadangan makanan yang disebut proses fotosintesis. Intensitas yang dibutuhkan antara 400 - 3000 lux. Cahaya yang digunakan dapat cahaya matahari difus, lampu neon dan lampu Cool White. Ukuran umum yang sering digunakan ialah lampu neon putih 40 watt diletakkan 1,5 hingga 2 meter dari rak tempat botol kultur. Makin kecil daya lampu yang digunakan, makin dekat jarak lampu ke tanaman. Peranan cahaya terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh intensitas dan kualitas cahaya serta lamanya penyinaran.
Suhu diperlukan untuk pertumbuhan jaringan berkisar antara 20°- 25°C. Penggunaan suhu yang rendah dapat mengurangi aktivitas enzim peroksidase dan oksidase yang bertindak sebagai katalisator dalam proses oksidasi senyawa fenol. Akibatnya, keracunan oleh eksudat toksik ini dapat ditekan. Namun bila luka jaringan telah sembuh, maka pemakaian suhu tinggi akan lebih menguntungkan karena pada suhu tersebut aktivitas metabolisme sel lebih tinggi. Keasaman (pH) media berpengaruh terhadap pertumbuhan in-vitro belum banyak diketahui. Diduga, bahwa pH dalam rentangan, antara 5,0 – 6,5 cocok untuk pertumbuhan eksplan dengan pH maksimum kira – kira 6,0. Berhubung pH rendah (lebih rendah dari 4,5) dan pH tinggi (lebih tinggi dari pada 7,0) pada umumnya menghentikan pertumbuhan dan perkembangan secara in-vitro (George dan Sherrington, 1984).
Menurut George dan Sherrington (1984), jika pH amat rendah dapat menimbulkan kesulitan seperti berikut :
1.    Agar menjadi lebih encer
2.    Auksin dan Giberelat menjadi kurang stabil
3.    Garam utama (fosfat, besi) dapat mengendap
4.    Vitamin B1 dan asam pantothenat menjadi kurang stabil
5.    Penyerapan ion amonium (NH4+) menjadi lambat
Derajat keasaman (pH) pada saat sebelum dan sesudah sterilisasi (dengan autoklaf) berbeda. Jika pH awal berkisar antara 5,0 – 7,0 ini secara umum akan turun (lebih rendah) sebesar 0,3 – 0,5 unit. Dalam literatur kultur jaringan tumbuhan baru diketahui sedikit tentang penggunaan larutan penyangga untuk mengontrol pH. Seringkali penyangga fosfat sorenson (Na2HPO4 + KH2PO4 ) digunakan dan berhasil. Bagaimanapun pengunaan fosfat pada suatu medium dapat dimodifikasi, untuk pertumbuhan suatu kultur. Dilaporkan, bahwa glukosa dalam medium sebagian menjadi fruktosa sebagai hasil dari sterilisasi dengan autoklaf, dan timbulnya hal ini sangat tergantung pada pH (George dan Sherrington, 1984). Vitamin dan Hormon digunakan untuk memacu pertumbuhan tunas. Selain digunakan dalam bentuk senyawa murni, vitamin dan hormon didapatkan dari penggunaan zat aditif dalam media misalnya buah, sayur (kentang, tauge, kacang-kacangan) atau lainnya (Hendaryono, 2000).


Pustaka
George, E. F. dan Sherrington P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Inggris: Exegetics Limited.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisus.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Yogyakarta: Kanisius.
Katuuk, Jeannete R. P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Lakitan, Benyamin. 2004. Dasar Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta; PT RayaGrafindo Persada.
Lehninger. 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Bandung : Erlangga.
Nugroho, Ariyanto dan Sugito, Heru. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kiltur Jaringan. Jakarta : Penebar swadaya
Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Semarang : IKIP Semarang Press.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.